Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat
Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan “Baduy” merupakan
sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat
tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya
mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan
masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah
karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara
dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai
urang Kanekes atau “orang Kanekes” sesuai dengan nama wilayah mereka,
atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo.
Wilayah
Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” –
6°30’0” LS dan 108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001). Mereka bermukim
tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar,
Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota
Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng
dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL) tersebut
mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah
rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara),
tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian
selatan). suhu rata-rata 20°C.
Bahasa
Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten.
Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan
Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut
dari sekolah. Orang Kanekes ‘dalam’ tidak mengenal budaya tulis,
sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya
tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
Asal Usul
Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan
dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus
ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam
sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan
keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau
asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat
para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis
dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut
Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai ‘Tatar Sunda’ yang
cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan
Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan
Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan
Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari
Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar.
Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan
untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian
penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum
menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu
diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk
menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah
Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus
tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai
sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng
tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada
dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka
sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy
sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada
tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Baduy adalah
penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap
pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Baduy sendiri pun menolak jika
dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-oraang pelarian dari
Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda
(1986: 4-5) orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan
mandala’ (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya
berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek
moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal
dengan kabuyutan Jati Sunda atau ‘Sunda Asli’ atau Sunda Wiwitan
(wiwitann=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka
pun diberi nama Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy
sebagai mandala adalah Rakeyan Darmasiksa.
Ada versi lain dari sejarah suku baduy, dimulai ketika Kian Santang
putra prabu siliwangi pulang dari arabia setelah berislam di tangan
sayyidina Ali. Sang putra ingin mengislamkan sang prabu beserta para
pengikutnya. Di akhir cerita, dengan ‘wangsit siliwangi’ yang diterima
sang prabu, mereka berkeberatan masuk islam, dan menyebar ke penjuru
sunda untuk tetap dalam keyakinannya. Dan Prabu Siliwangi dikejar hingga
ke daerah lebak (baduy sekarang), dan bersembunyi hingga ditinggalkan.
Lalu sang prabu di daerah baduy tersebut berganti nama dengan gelar baru
Prabu Kencana Wungu, yang mungkin gelar tersebut sudah berganti lagi.
Dan di baduy dalamlah prabu siliwangi bertahta dengan 40 pengikut
setianya, hingga nanti akan terjadi perang saudara antara mereka dengan
kita yang diwakili oleh ki saih seorang yang berupa manusia tetapi
sekujur tubuh dan wajahnya tertutupi oleh bulu-bulu laiknya monyet.dan ki saih ini kehadirannya di kita adalah atas permintaan para wali kepada Allah agar memenangkan kebenaran.
Kepercayaan
Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan
berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada
perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan
Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau
ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang
Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari ‘pikukuh’ (kepatuhan) Kanekes
tersebut adalah konsep “tanpa perubahan apapun”, atau perubahan
sesedikit mungkin:
Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.
(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)
Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara
harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan
tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya
sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat
terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang
diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah
dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali
tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos,
tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan
tawar-menawar.
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca
Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang
Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun
sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan
Juli. Hanya puun yang merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa
anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan
tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang
menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang
tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat
Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan
banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu
lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan
panen (Permana, 2003a).
Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya,
kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan
kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya
Islam.
Kelompok Masyarakat Suku Baduy
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu
tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001). Kelompok tangtu adalah
kelompok yang dikenal sebagai Baduy Dalam, yang paling ketat mengikuti
adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikartawana, dan
Cikeusik). Ciri khas Orang Baduy Dalam adalah pakaiannya berwarna putih
alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Kelompok masyarakat
panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Baduy Luar, yang tinggal di
berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam,
seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain
sebagainya. Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian dan
ikat kepala berwarna hitam. Apabila Baduy Dalam dan Baduy Luar tinggal
di wilayah Kanekes, maka “Baduy Dangka” tinggal di luar wilayah Kanekes,
dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras
(Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut
berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar (Permana,
2001).
Struktur Pemerintahan
Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem
nasional, yang mengikuti aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat.
Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa
sehingga tidak terjadi perbenturan. Secara nasional penduduk Kanekes
dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada
di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes
yang tertinggi, yaitu “puun”. Struktur pemerintahan secara adat Kanekes
adalah sebagaimana tertera pada
Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah “puun” yang
ada di tiga kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun,
namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat
lainnya. Jangka waktu jabatan puun tidak ditentukan, hanya berdasarkan
pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.
Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapuunan (kepuunan)
dilaksanakan oleh jaro, yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro
tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro tangtu
bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan
berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus,
dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar
Kanekes. Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3
orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro
duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan. Adapun jaro pamarentah
secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes
dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa,
carik, dan kokolot lembur atau tetua kampung (Makmur, 2001).
Mata Pencaharian
Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata
pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain
itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual
buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam
keranji, serta madu hutan.
Interaksi Dengan Masyarakat Luar Baduy
Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat
istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun
masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya
Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam
wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai
tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara
rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten (Garna, 1993). Sampai
sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali,
berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada
Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati
Kabupaten Lebak. Di bidang pertanian, penduduk Baduy Luar berinteraksi
erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa menyewa tanah, dan
tenaga buruh.
Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter,
sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang Kanekes
menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para
tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi
sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah
Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin
meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya
merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung
dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk
menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti
adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain
tidak boleh berfoto di wilayah Baduy Dalam, tidak menggunakan sabun atau
odol di sungai. Namun demikian, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi
orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai
sekarang selalu ditolak masuk.
Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Baduy juga
senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat
harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil
yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang
pernah datang ke Baduy sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan.
Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk
mencukupi kebutuhan hidup.
Sumber Berita :